Powered By Blogger

Senin, 17 November 2014

makalah taqlid ittiba talfiq


Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :Drs.Kholil nawawi




Disusun Oleh:
HANIF ABDUL KABIR
SITI LUJAH
HILDAWATI GUSTIAN
DHINNY DUNNUR MADINAH


JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2014


KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Wata’ala,atas kehendak-Nya, Dan rasa syukur kami atas segala nikmatnya kami dapat menyelesaikan menyusun makalah yang berjudul “Ushul Fiqih”.
Semoga kita selalu mendapatkan pertolongan dan petunjuk-Nya.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluargannya, dan para sahabat, serta kita semua. Mudah-mudahan kita dapat meneladaninnya dan menjalankan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
            Makalah ini di susun bermaksud memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih” dan sekaligus bahan presentasi. Serta kami agar mengetahui bagaimana prespektif kaum syi’ah mengenai hadits.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran serta masukan untuk memperbaiki makalah ini. Kami juga untuk saling menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembelajaran pembuatan makalah ini.





Bogor, Oktober 2014


Penyusun

                                                                       



DAFTAR ISI





BAB 1

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistimbatkan hukum dari sumber aslinya itu.

B. RUMUSAN MASALAH

1.       Apa pengertian,hokum dan syarat taqlid
2.       Apa pengertian ittiba’,dan hukumnya
3.       Apapengertian tafliq an hukumnya

C. TUJUAN

                Pengenalan tentang taqlid, ittiba’, dan taflid dari segi makna dan hokum- hukumnya


BAB II

PEMBAHASAN

A.     Taqlid

1.    Pengertian Taqlid

Kata taqlid berasal dari bahasa arab yakni “قلد يقلد تقليدا” artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqig adalah:
قبولُ قولِ القَائلِ وانتَ لاَ تعلَمُ مِنْ ايْنَ قاَلهُ :
“menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataan itu”
Diantara definisi taqlid tersebut ialah:
1.       Al ghozali memberikan definisi:
 قبوْلُ قَوْلٍ بلاَ حجّةٍ  
“menerima ucapan tanpa hujjah
2.      Al Asnawi dalam kitab Nihyat Al Ushul mengemukakan
التّقْليدُ هو الاخذُ بقوْلِ غيرهِ منْ غيرِ دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
3.      Ibnu Subki dalam kitab “jam’ul jamawi” merumuskan devinisi:
التّقليدُ اخذُ القولِ من غيرِ معرفةِ دليلٍ
“ taqlid ialah mengambil suatu perkara tanpa mengetahui dalil.
Diantara ketiga pendapat diatas, Al Ghozali memberikan rumusan yang paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Oleh karena itu, jika definisi itu ditela’ah menurut apa adanya belum memberikan pengertian yang lengkap, sehingga menimbulkan pertanyaan yang perlu dijelaskan.Definisi yang dikemukakan Al Asnawi banyak menjelaskan kekaburan yang terdapat dalam definisi Al Ghozali tersebut. Dalam definisinya digunakan kata “mengambil” sebagai ganti dari “menerima”, tetapi keduanya sama maksudnya. Dengan kata “orang lain” jelas bahwa kata yang diambil itu adalah kata atau pendapat orang lain, bukan kata atau pendapatnya sendiri. Kata “tanpa dalil” menjelaskan maksud dari “tanpa hujjah” yang dikemukakan oleh Al Ghozali.

2.      Hukum Bertaqlid

Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a.       Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b.      Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
Ø  Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :
#sŒÎ)ur ŸÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ ÇÊÐÉÈ  
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.
Ø  Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
Ø  Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

3.      Syarat-Syarat Taqlid

Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
a.       Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b.      Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

3.        Ketentuan Bertaqlid

a.       Ibnu Al Ummamah, mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seseorang dari ulama ahli ilmu, yang diketahui bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. 
b.      Menurut Syafi’iyah, pendapat yang paling tepat adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang – orang, dan mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu pemeriksaan.
c.       Bila ilmu dan adil tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya.
d.      Pendapat lain mengatakan bila yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak boleh bertaqlid padanya.
e.       Bila dalam satu wilayah hanya ada satu mujahid yang memenuhi syarat tersebut, maka maka pendapatnya harus diikuti.

B.     Ittiba

1.      Pengetian Ittiba

Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

2.      Hukum Ittiba

Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi :
 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya, “Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR Abu Daud).
Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan Ibrahim kepada ayahnya  dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :
ÏMt/r'¯»tƒ ÎoTÎ) ôs% ÎTuä!%y` šÆÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB öNs9 y7Ï?ù'tƒ ûÓÍ_÷èÎ7¨?$$sù x8Ï÷dr& $WÛºuŽÅÀ $wƒÈqy ÇÍÌÈ  
“Wahai bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çoY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çoY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ   tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ  
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Musa telah memohon kepada Khidhr as agar diizinkan untuk mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran ini dan juga ada hadis dari Nabi SAW, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan atau tidak dilarang.



C.     Talfiq

1.        Pengertian Talfiq

Talfiq berasal dari kata لفّق  yang artinya mempertemukan menjadi satu. Dalam literatur ushul fiqih sulit ditemukan penjelasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur dalam masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang meminta fatwa kepada imam mujahid lain dalam masalah yang lain. Adapula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu dalam satu masalah tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan nikah, yaitu dengan cara mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan mahar mengikuti mazhab lainnya.

2.      Hukum Talfiq

Para mutaqoddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang yang beertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa – fatwa mereka, dan jugaa mengatakan tidak halal menfatwakan fatwa merekabila tidak diketahui alasan – alasannya.
Anjuran ataau larangan diatas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “talfiq”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ihtihad, atau sekurang – kurang berittiba’, hal yang demikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelitian diperbolehkannya talfiq adalah dalam perselisihan ulama, atau lebih jelasnya adalah oleh para fuqoha muta’akhirin, adapun mereka yang panatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qodi berhak menghukum terhadap orang yang berpindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah, pendapat yang membolehkan talfiq. Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:
a.   Mazhab Syafi’i tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dengan masalah yang berlainan, maupun dalam satu bidang masalah.
b.      Mazhab Hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di – talfiq – an itu bukan dalam satu masalah atau qodiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i sedangkan pembatalannya menurut mazhab hanafy.
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu:
1)      Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Contohnya seseorang berwhudu menurut syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena bagi seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak ada jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut satu mazhab untuk diganti menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama menurut mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga selesai juga, kemudian wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai dan dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya berbeda.
2)      Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut mazhab Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik. Akad nikah yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu bertempat disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan sebagaimana pendapat  Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
Ø  Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
Ø  Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
Ø  Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
Ø  Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
Ø  Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
Ø  Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1.      Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.
Taqlid ada dua macam yiatu taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.  dan taqlid yang tidak diperbolehkan (dilarang/ haram), yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.Syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi.
2.      Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun. Ittiba memang dan bahkan disuruh dalam agama.  Firman Allah dalam  surah An-Nahl ayat 43 merupakan suatu perintah untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa ittiba itu tidak dilarang.
3.      Talfiq
Talfiq yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.


DAFTAR PUSTAKA


Rifai, Muhammad. Ushul Fiqh. Bandung: PT. Almaarif, 1973.
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003)