Rabu, 19 November 2014
Senin, 17 November 2014
makalah taqlid ittiba talfiq
Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengampu :Drs.Kholil nawawi
Disusun Oleh:
HANIF
ABDUL KABIR
SITI
LUJAH
HILDAWATI
GUSTIAN
DHINNY
DUNNUR MADINAH
JURUSAN EKONOMI
SYARIAH
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS IBN
KHALDUN BOGOR
2014
KATA PENGANTAR
Segala
puji kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu
Wa Wata’ala,atas kehendak-Nya, Dan
rasa syukur kami atas segala nikmatnya kami dapat menyelesaikan menyusun
makalah yang berjudul “Ushul Fiqih”.
Semoga kita selalu mendapatkan
pertolongan dan petunjuk-Nya.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
limpahkan kepada baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluargannya, dan para sahabat,
serta kita semua. Mudah-mudahan kita dapat meneladaninnya dan menjalankan
ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.
Makalah ini di susun bermaksud
memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqih” dan sekaligus bahan presentasi. Serta
kami agar mengetahui bagaimana prespektif kaum syi’ah mengenai hadits.
Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran serta masukan untuk memperbaiki makalah
ini. Kami juga untuk saling menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam pembelajaran pembuatan makalah ini.
Bogor,
Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap
umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan syariat Islam
pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan
tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi setiap mukallaf dapat menggali
kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam kegiatan hidupnya, karena melihat
kenyataan bahwa manusia ini berbeda tingkat intelektualitasnya dalam setiap
bidang dan mengingat sulitnya perangkat yang harus dimiliki oleh seorang
penggali hukum (mujtahid). Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan
hukum dari sumber aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup
mengistimbatkan hukum dari sumber aslinya itu.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian,hokum dan
syarat taqlid
2.
Apa pengertian ittiba’,dan
hukumnya
3.
Apapengertian tafliq an
hukumnya
C. TUJUAN
Pengenalan
tentang taqlid, ittiba’, dan taflid dari segi makna dan hokum- hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taqlid
1. Pengertian
Taqlid
Kata taqlid berasal dari bahasa arab yakni “قلد يقلد تقليدا” artinya meniru menurut seseorang
dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqig
adalah:
قبولُ قولِ القَائلِ
وانتَ لاَ تعلَمُ مِنْ ايْنَ قاَلهُ :
“menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak
mengetahui alasan perkataan itu”
Diantara definisi taqlid tersebut ialah:
1. Al
ghozali memberikan definisi:
قبوْلُ قَوْلٍ بلاَ حجّةٍ
“menerima ucapan tanpa hujjah
2. Al
Asnawi dalam kitab Nihyat Al Ushul mengemukakan
التّقْليدُ هو الاخذُ
بقوْلِ غيرهِ منْ غيرِ دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
3. Ibnu
Subki dalam kitab “jam’ul jamawi” merumuskan devinisi:
التّقليدُ اخذُ القولِ من غيرِ معرفةِ دليلٍ
“ taqlid ialah mengambil suatu perkara tanpa mengetahui dalil.
Diantara ketiga pendapat diatas, Al Ghozali
memberikan rumusan yang paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Oleh
karena itu, jika definisi itu ditela’ah menurut apa adanya belum memberikan
pengertian yang lengkap, sehingga menimbulkan pertanyaan yang perlu
dijelaskan.Definisi yang dikemukakan Al Asnawi banyak menjelaskan kekaburan
yang terdapat dalam definisi Al Ghozali tersebut. Dalam definisinya digunakan
kata “mengambil” sebagai ganti dari “menerima”, tetapi keduanya sama maksudnya.
Dengan kata “orang lain” jelas bahwa kata yang diambil itu adalah kata atau
pendapat orang lain, bukan kata atau pendapatnya sendiri. Kata “tanpa dalil”
menjelaskan maksud dari “tanpa hujjah” yang dikemukakan oleh Al Ghozali.
2. Hukum
Bertaqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid
yang diperbolehkan dan taqlid yang dilarang atau haram.
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu
taqlid bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji
dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana
mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah sesuatu yang mubah dan
diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi
semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan
untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam
sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari
al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi
orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau yang
sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara
lain :
Ø Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan
cara mutlaq dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis,
seperti menaqlid orang tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut
bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Hadis. Firman Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah ayat 170 :
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt ÇÊÐÉÈ
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?".
Firman Allah di atas
tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang yang menerima
hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta.
Ø Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita
ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa
pamrih.
Ø Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh
hujjah dan dalil bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan
ajaran Islam atau sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh
bertaqlid terhadap suatu pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari
seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
3. Syarat-Syarat
Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu
syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu
yakni sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang
bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti
hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup
menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau
baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka
menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b. Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi
ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak
boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang
menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena
jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai
akal.
3. Ketentuan
Bertaqlid
a. Ibnu
Al Ummamah, mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada
seseorang dari ulama ahli ilmu, yang diketahui bahwa orang itu mempunyai
kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah.
b. Menurut
Syafi’iyah, pendapat yang paling tepat adalah harus memeriksa tentang
keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang – orang, dan mengetahui
keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu pemeriksaan.
c. Bila
ilmu dan adil tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid
kepadanya.
d. Pendapat
lain mengatakan bila yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang
keilmuannya, maka tidak boleh bertaqlid padanya.
e. Bila
dalam satu wilayah hanya ada satu mujahid yang memenuhi syarat tersebut, maka
maka pendapatnya harus diikuti.
B. Ittiba
1. Pengetian
Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu
menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil),
baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii
mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang
datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin
yang mendatangkan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau
mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan
itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya
disebut muttabiun.
Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi
sikap maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian,
sedangkan dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian
terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.
2.
Hukum Ittiba
Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian
terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya adalah tidak layak
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak
didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba, mengikuti pendapat
orang lain dengan menemukan argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang
diikuti dan mencela taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.
Ittiba dalam agama
disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi
:
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès?
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu suatu perintah
yang memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya
kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Dengan
pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya,
“Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”. (HR
Abu Daud).
Kata ittiba ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata
taqlid, karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan
hal-hal yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada
ucapan Ibrahim kepada ayahnya dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi :
ÏMt/r'¯»t ÎoTÎ) ôs% ÎTuä!%y` ÆÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB öNs9 y7Ï?ù't ûÓÍ_÷èÎ7¨?$$sù x8Ï÷dr& $WÛºuÅÀ $wÈqy ÇÍÌÈ
“Wahai bapakku,
Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak
datang kepadamu, Maka ikutilah Aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan
yang lurus.”
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan
untuk mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba
yang saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT
berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi :
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ
“Lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
Musa telah memohon kepada Khidhr as agar diizinkan untuk
mengikutinya dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini
menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam sebagian
permasalahan bukanlah hal yang tercela.
Berdasarkan firman-firman Allah SWT yang terdapat dalam al-Quran
ini dan juga ada hadis dari Nabi SAW, maka jelaslah bahwa ittiba ini dianjurkan
atau tidak dilarang.
C. Talfiq
1. Pengertian
Talfiq
Talfiq berasal dari kata لفّق yang
artinya mempertemukan menjadi satu. Dalam literatur ushul fiqih sulit ditemukan
penjelasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur
dalam masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang meminta fatwa
kepada imam mujahid lain dalam masalah yang lain. Adapula yang memahami talfiq
itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu dalam satu masalah tertentu.
Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan nikah, yaitu dengan cara mengenai
persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai
persyaratan mahar mengikuti mazhab lainnya.
2. Hukum
Talfiq
Para mutaqoddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau
seseorang yang beertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk
meneliti fatwa – fatwa mereka, dan jugaa mengatakan tidak halal menfatwakan
fatwa merekabila tidak diketahui alasan – alasannya.
Anjuran ataau larangan diatas dapat dipahami bahwa, semua itu
menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “talfiq”, dan
dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ihtihad, atau sekurang – kurang
berittiba’, hal yang demikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelitian diperbolehkannya talfiq adalah
dalam perselisihan ulama, atau lebih jelasnya adalah oleh para fuqoha
muta’akhirin, adapun mereka yang panatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qodi
berhak menghukum terhadap orang yang berpindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka
pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah, pendapat yang membolehkan talfiq.
Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:
a. Mazhab Syafi’i tidak membenarkan seseorang
berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dengan masalah yang
berlainan, maupun dalam satu bidang masalah.
b. Mazhab
Hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di – talfiq – an
itu bukan dalam satu masalah atau qodiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu
menurut mazhab syafi’i sedangkan pembatalannya menurut mazhab hanafy.
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam
yaitu:
1) Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang
teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa
masalah yang berbeda-beda. Mereka beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip
penetapan hukum yang ditunjukkan syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi
kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu jangan dimudah-mudahkan. Para
ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk memperkecil fanatisme terhadap
satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam. Contohnya
seseorang berwhudu menurut syarat-syarat yang dituntut oleh mazhab Syafii
kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syarat-syarat
sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena bagi
seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak ada
jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut
satu mazhab untuk diganti menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama
menurut mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan
hingga selesai juga, kemudian wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai
dan dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi
peristiwanya berbeda.
2) Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil
yang teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah.
Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali menurut mazhab
Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik. Akad nikah yang
mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh beralasan
bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan dalam agama
itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu bertempat
disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan gugur
semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah
kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah
dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq
diperbolehkan sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan
beberapa alasan yaitu :
Ø Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus
terikat kepada salah satu mazhab.
Ø Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada
masalah fiqhiyah.
Ø Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu
mazhab berarti akan mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum
Islam yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
Ø Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah
dari para ulama mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
Ø Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa
kelapangan, tetapi akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
Ø Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat,
bahwa orang boleh meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun
ada sahabat yang lebih senior.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Taqlid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata qiladah
(kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada
orang lain. Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady
(mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu
seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid
artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah
agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu
hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya.
Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.
Taqlid ada dua macam yiatu taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid
bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil
dari hukum-hukum syariat. dan taqlid yang tidak diperbolehkan (dilarang/
haram), yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan an-nazhr atau
yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.Syarat-syarat taqlid bisa dilihat
dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat-syarat yang
ditaqlidi.
2. Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu
menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil)
baik dalil itu al-Quran maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii
mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat-pendapat yang
datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin
yang mendatangkan kebajikan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah
menerima atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau
alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang
jamaknya disebut muttabiun. Ittiba memang dan bahkan disuruh dalam
agama. Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 43 merupakan suatu
perintah untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak
dari yang lain-lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa ittiba itu tidak dilarang.
3. Talfiq
Talfiq
yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan
(gabungan) dua mazhab atau lebih.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifai, Muhammad. Ushul Fiqh. Bandung: PT. Almaarif, 1973.
Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2011.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2003)
Langganan:
Postingan (Atom)